oleh: Rai Inamas Leoni
Semua bilang tak ada gunanya melihat ke masa lalu apalagi berharap kembali ke masa itu. Hidup berjalan kedepan bukannya mundur kebelakang, seperti arah jarum jam yang berputar ke kanan bukan ke kiri. Namun masikah kau memegang prinsip itu? Bila dalam kenyataanya, masa lalu lah yang membuat dirimu bertahan dan semangat menjalani hari-harimu…
***
Langit cerah menghiasi hari yang bersejarah ini. Hari dimana aku dan teman-temanku saat kecil, berkumpul kembali di tempat ini. Kami memutuskan memakai taman di dekat sekolah kami dulu. Tempat ini merupakan tempat yang menampung semua kenangan saat kami kecil. Saat kami belum mengerti arti hidup, saat kami belum mengerti arti sebuah perpisahan. Dulu aku sering sekali bermain bola disini bersama teman-teman kelasku.
Walau aku tak mengerti sepenuhnya tentang permainan sepak bola, tapi aku tetap bisa bermain. Karena aku tau, setiap permainan dimulai seseorang akan mengajariku dengan sabar. Walau aku selalu membuat permainan kacau, walau aku sering berlari (bukannya menangkap) bila ada bola yang menggelinding ke arahku, walau aku menangis bila bola sialan itu mengenai betis ku dengan keras, tapi seseorang itu tetap sabar mengajariku. Seseorang yang dari luar selalu bersikap dingin namun sebenarnya hatinya tulus. Seseorang yang memilih menjauh namun sejujurnya ia menemani yang terlupakan.
Kadang aku sering menghayal bertemu dengannya. Tapi kenyataan tak pernah berpihak padaku. Dan kini aku berharap bertemu dengannya. Terakhir aku melihatnya di acara perpisahan SD Santa Loka enam tahun yang lalu. Setelah itu aku tak mendengar kabarnya. Ia menghilang begitu saja, seperti angin yang berlalu tanpa meninggalkan jejak. Ya, aku rindu seseorang itu. Seseorang yang berulang tahun di hari ulang tahunku.
***
Pandanganku menyapu seluruh isi kelas. Tapi hasilnya tetap sama, aku tak melihat Danny dimana pun. Padahal hari ini ulang tahunnya. Kuperhatikan sekeliling, teman-teman terlihat asyik memakan kue yang tadi aku bagikan. Kemana dia disaat seperti ini? Disaat hari kelahirannya yang hanya terjadi sekali dalam setahun.
Dengan malas aku berjalan keluar kelas. Baju putih dan rok merahku terlihat kotor dengan krim-krim kue yang belepotan disana sini. Aku masih ingat bagaimana Lia, Sita, Andra, dan yang lain mengerjaiku dengan sadisnya. Padahal hari ini ulang tahunku. Seharusnya mereka bersikap baik padaku, walau hanya sehari.
“Anna, kuenya masih sisa nggak?”
Aku menoleh saat mendengar suara Andra. Tubuh Andra yang dua kali lipat dari ukuran tubuhku yang kurus ini terlihat seperti monster yang kelaparan. Tidak heran jika Andra meminta tambahan kue. “Masih setengah kok. Ambil aja, Ndra.” Kataku sambil beranjak pergi.
“Trims. Oh ya kamu pasti nyariin Danny kan? Tadi aku liat dia di taman belakang sama si Reno, lagi main-main nggak jelas.” ujar Andra sambil menekan kata Reno pada ucapannya.
Yah aku tau bagaimana teman-teman kelasku yang memandang Reno dengan sebelah mata. Hanya karena Reno berasal dari keluarga yang kurang mampu. Cukup naïf memang, tapi begitulah kenyataannya. “Oke deh, Ndra, aku nyari Danny dulu ya.”
Dan benar saja, aku melihat Danny sedang bermain lempar batu (permainan yang berlomba-lomba melempar batu sejauh mungkin untuk mengetahui pemenangnya) bersama Reno. Aku hanya bisa tersenyum melihatnya. Danny memang berbeda dengan yang lain. Jika orang lain menjauhi Reno hanya karena Reno berasal dari keluarga yang kurang berada, Danny malah kebalikannya. Yang tanpa ia ketahui, hal itu membuat teman-teman yang lain ikut menjauhinya.
“Danny, kuenya mau aku anterin nggak?” teriakku keras. Bagaimana tidak keras, jarak ku berdiri sekarang dengan Danny cukuplah jauh. Aku tidak berani mendekat karena takut terkena lemparan batu. Melihat Danny yang masih sibuk dengan permainannya, aku pun kembali berteriak, “Gimana sih yang ultah malah main seenaknya aja? Capek tau ngurusin kue sendiri!”
Danny berhenti melempar batu lalu menoleh kepadaku. “Kan udah ada kamu. Murid di kelas juga nggak banyak. Lagian masih ada tahun depan, aku janji bakal bantuin deh.” ujarnya sambil tersenyum.
Aku pun hanya mendengus lalu berniat untuk pergi. Danny memang benar-benar bego atau pura-pura bego sih? Lima tahun aku sekelas dengannya—sekaligus lima kali merayakan ulang tahun bersama-sama di kelas—Danny tak pernah sekali pun bersikap seperti orang yang merayakan ulang tahun. Ia hanya mengikuti sampai acara tiup lilin. Dan saat memotong kue tart, akulah yang menjadi sasaran keganasan teman-teman dalam berebut kue.
“Anna….!”
“Apa lagi?” tanyaku galak.
“Boleh dong kuenya dibawain. Dua ya, satu buat aku satu buat Reno.”
Mataku berlahan menyipit. “Ambil aja sendiri!!” Seruku sambil menjulurkan lidah.
***
Aku tertawa mengingat sepotong kenangan manis itu. Kenangan yang membuat ku ingin kembali ke masa lalu. Ke masa dimana aku bersekolah di SD Santa Loka dan merayakan ulang tahun bersama Danny.
“Ketawa sendiri ntar dikira orang gila lho.” Tiba-tiba seseorang telah berada disampingku.
“Eh?” Aku terkejut mendengar laki-laki disampingku yang bersikap seolah-olah telah mengenalku lama. Alisku mengernyit, bingung akan tingkah orang ini.
“Lupa ya?” tanya laki-laki itu sambil tersenyum usil. “Aku bantu buat ngingetin, mau?”
Aku hanya tersenyum miris. Siapa laki-laki ini? Kulit putih bersih, tinggi kurang lebih 170cm—beda sepuluh centi sama aku yang 160 cm—alis tebal, dan di dahi terdapat bekas luka yang tak terlihat dari jauh. Jangan-jangan…
“Yang dulu selalu ngerayain ulang tahun bareng kamu, tapi nggak pernah ikutan saat potong kue..”
“Danny!!” teriakku senang dan sedetik kemudian aku sudah memeluk Danny saking senangnya. Sadar akan tingkahku, buru-buru aku melepas pelukanku. “Maaf..”
Danny hanya tertawa. “Ya ampun, Anna. Nggak nyangka kamu udah gede kayak gini. Pipi makin tembem aja nih.”
“Ini bukan tembem, tapi chubby tau.” Aku mengusap-usap pipiku.
Danny hanya menggeleng-geleng tak percaya lalu memandangku lama. Seketika suasana menjadi hening. Aku sendiri bingung harus bicara apa.
“Cieeee. Raja sama ratu ultah ketemu nih. Udah, Dan, tembak aja sekarang mumpung valetine’s day. Ntar keburu diambil orang di kampus barunya.” Jelas Andra yang tiba-tiba muncul dihadapanku dan diiringi teriakan teman-teman yang lain. Kulihat badan Andra tak ada bedanya saat SD dulu. Tetap saja subur..
Perlahan aku merasa pipiku mulai memanas. Dan entah perasaanku saja atau bukan, ku lihat wajah Danny berubah menjadi merah seperti tomat. Sialan Andra.
“Itu urusan gue, Ndra. Cukup gue sama Anna yang tau gimana hubungan kita ke depan.”
Ku dengar teriakan Lia dan Sita yang berubah menjadi histeris. Aku memasang tampang bingung. Sumpah, apa coba maksud Danny ngomong kayak gitu?
“Terserah lo deh, Dan. Awas aja kalo lo berani nyakitin Anna. Gue sama Sita nggak bakal tinggal diam,” ucap Lia yang ditimpali anggukan oleh Sita.
Ya ampuuun. Teman-temanku ini memang sakit jiwa semua. Baru lulus SMA aja ngomong udah ngaco kayak gini. Gimana nanti? Apa coba maksud omongan Lia yang minta Danny buat nggak nyakitin aku? Namun aku lebih memilih untuk diam tak berani menyuarakan protesku. Aku terlalu terkejut untuk mencerna semua ini.
“Okay guys.. Gue pergi sama Anna dulu ya.” Danny memegang tangan kiriku lalu kudengar Sita menyela, “Gue juga deh. Lagian Kevin udah nunggu gue buat ngerayain valentine sama dia.” Kulihat yang lain bersiap-siap untuk pergi dari taman ini.
“Tunggu. Terus reuninya gimana? Kita kan baru disini sekitar sejam?” Aku menatap semua orang terlebih Sita yang belum mengatakan bahwa ia sudah putus dengan pacarnya yang dulu.
“Kita bisa lanjutin lain kali,” ujar Sita singkat. Seperti menyadari sesuatu Sita lalu berteriak, “Annaaa.. Jangan bilang otak lo belum loading! Sekarang tuh hari Valentine. Semua udah punya acara sama gebetannya masing-masing. Dan lo juga punya acara sama Danny. Jadi nggak ada salahnya kalo…. hmpp hmpp!”
Aku pun menutup mulut Sita dengan tangan kanan ku. “Oke-oke. Gue ngerti kok.” Perlahan aku melepas tanganku. Sudah bukan rahasia lagi kalau Sita terkenal dengan omongannya yang panjang lebar. Benar kata Sita, aku lupa kalau hari ini adalah hari Valentine. Pantas semua buru-buru meninggalkan taman ini.
***
Dan semuanya berjalan seperti mimpi. Kini aku sudah berada di salah satu restoran yang terkenal romantis karena desain ruangannya yang bergaya ala Paris di musim gugur. Kulihat restoran ini penuh dengan pasangan-pasangan dinner yang merayakan Valentine sama seperti aku. Tanpa sadar senyum menghiasi wajahku.
“Hayo lagi mikir apa?” Suara Danny menyadarkan lamunanku.
“Rahasia dong..” jawabku sambil menatap Danny dengan senyum yang tertahan.
“Iya deh yang lagi main rahasia. Kamu mau makan apa?”
“Terserah kamu aja,” ujarku singkat.
Sementara Danny menyampaikan pesanannya kepada pelayan, aku hanya bisa tersenyum memandang orang yang lalu lalang di luar restoran. Setelah enam tahun tidak merayakannya, sepertinya tahun ini aku kembali menjalani ritual SD dulu. Bulan depan aku akan merayakan ulang tahunku bersama Danny. Ia berjanji tidak akan menghilang setelah acara tiup lilin. Awas saja kalo dia menghilang, aku akan memecatnya sebagai pacarku.
Ya, mulai malam ini aku dan Danny resmi terikat satu sama lain.
***
Penulis : Rai Inamas Leoni
TTL : Denpasar, 08 Agustus 1995
Sekolah : SMA Negeri 7 Denpasar
Blog : raiinamas.blogspot.com
Sumber : www.gen22.net
No comments:
Post a Comment